-->

UPAYA BELA NEGARA - MODEL BELA NEGARA DI BEBERAPA NEGARA

Berikut ini adalah pembahasan terkait dengan upaya bela negara termasuk di dalamnya model bela negara di beberapa negara. Semoga bermanfaat!




A. Model Bela Negara di beberapa negara 

Konsep bela negara sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh Indonesia. Negara-negara lain menerapkan bela negara dalam berbagai bentuk, antara lain berupa wajib militer, pelayanan sipil, maupun paduan antara wajib militer dengan pelayanan sipil. Negara terdekat dari Indonesia yang memiliki program serupa dengan bela negara adalah Singapura. Dikenal dengan nama National Service (NS), program bela negara di Singapura selama dua tahun merupakan kewajiban bagi setiap laki-laki berkewarganegaraan Singapura, maupun penyandang status sebagai penduduk tetap (permanent resident atau PR) generasi kedua (mendapat status PR dari orangtuanya) yang telah berusia 18 tahun. Akan tetapi, para wajib NS sudah harus sudah mendaftar keikutsertaan mereka sejak mulai memasuki usia 16 tahun 6 bulan. 

NS menjadi program wajib bagi warga negara maupun penduduk tetap (PR) Singapura melalui sebuah undang-undang, yaitu National Service (Amendment) Act pada 14 Maret 1967, setelah negeri itu berdiri sendiri pada Agustus 1965. NS sebenarnya sudah mulai diberlakukan di Singapura pada tahun 1954 saat negeri itu masih di bawah pemerintahan kolonial Inggris. Akan tetapi, pada saat itu NS mendapat resistensi dari penduduk lokal, terutama sebagiannketurunan Tionghoa yang meyakini bahwa profesi tentara bukanlah suatu hal yang bergengsi. Perjalanan sejarah Singapura pada tahun 1960-an kemudian memperkuat argumen tentang pentingnya NS, yaitu peristiwa pemboman pada saat Konfrontasi, serta kerusuhan rasial pada tahun 1964. Selain itu, Singapura juga harus membangun pertahanannya sendiri, mengingat Inggris akan menarik seluruh kekuatannya dari negara pulau itu pada tahun 1971. 

Menteri Pertahanan Singapura pada saat itu Dr. Goh Keng Swee meyakinkan parlemen untuk memberlakukan kewajiban NS dengan mengatakan bahwa tidak ada cara yang lebih cepat dan komprehensif untuk membangun loyalitas dan kesadaran nasional selain keikutsertaan dalam upaya pertahanan negara, serta menjadi anggota angkatan bersenjata. Saat ini, program NS meliputi kewajiban mengabdi di militer (SAF atau Singapore Armed Force), kepolisian, atau kekuatan sipil (SDF atau Singapore Civil Defence Force). Dengan kata lain, kewajiban mengikuti NS bagi warga negara atau penduduk tetap merupakan upaya untuk menciptakan kohesi sosial di antara penduduk Singapura yang terdiri dari berbagai latar belakang dan etnis. Upaya itu ditempuh melalui penciptaan suatu rasa keterikatan di antara sesama peserta selama mengikuti NS melalui serangkaian pendidikan, pelatihan, serta pembangunan karakter dan kepemimpinan. 

Program semacam bela negara juga terdapat di sejumlah negara Eropa, salahsatunya Swiss atau Switzerland. Di negara yang terletak di Pegunungan Alpen ini, program bela negara diterapkan dalam bentuk wajib militer. Program ini didesain sebagai bentuk pertahanan yang bertolak dari prinsip bahwa Swiss adalah negara netral dalam pengertian tidak berpihak dalam konflik bersifat eksternal, tetapi berperan aktif dalam aksi kemanusiaan, serta bersiap dalam menghadapi ancaman eksternal. Prinsip netralitas ini berangkat dari kenyataan sejarah bahwa pada abad ke-16, Swiss yang plural dalam hal budaya, agama, dan bahasa mengalami gejolak dalam negeri yang diakibatkan kebijakan luar negeri aktif. Selain itu, keberpihakan Swiss pada Jerman atau Perancis pada sejumlah konflik militer pada abad ke-19 juga menyebabkan kesulitan kepada Swiss. 

Bertolak dari pengalaman itu, Swiss mengambil posisi netral melalui Perjanjian Paris atau Treaty of Paris yang ditandatangani pada tahun 1815. Dengan demikian, Swiss memilki prinsip bahwa tanpa netralitas terhadap faktor internal, tidak mungkin tercapai kohesi sosial di dalam negeri. Konstitusi Swiss menyebutkan bahwa wajib militer dikenakan bagi setiap laki-laki warga negara Swiss, dan bersifat suka rela bagi perempuan. Dalam hal ini, pria yang berusia 19 hingga 25 tahun bertanggjungjawab untuk mengikuti pelatihan militer selama 18 minggu hingga 21 minggu. Dari pelatihan itu, para peserta akan dibagi menjadi dua golongan, yaitu komponen cadangan dan mereka yang menjadi bagian dari departemen pertahanan (officers). Komponen cadangan akan melaksanakan tugas mereka hingga usia 34 tahun dengan total kewajiban bertugas selama 260 hari. Sedangkan mereka yang menjadi officers memiliki kewajiban tugas hingga usia 50 tahun dengan total kewajiban bertugas selama 600 hari. Dengan postur seperti ini, Swiss tidak memiliki unit tentara reguler seperti yang dikenal di negara lain, dan hanya memiliki sejumlah staf di markas. Akan tetapi, pada pria yang telah mengikuti wajib militer dapat dimobilisasi penuh dalam waktu 72 jam. 

Hukum Swiss juga mengatur bahwa mereka yang tidak dapat mengikuti wajib militer diharuskan membayar pajak. Kewajiban membayar pajak bahkan juga dikenakan bagi mereka yang mengikuti program kewajiban sipil (civil defence) disebabkan termasuk dalam kategori tidak dapat berpartisipasi dalam wajib militer. 

Negara lain yang menerapkan bela negara dalam bentuk wajib militer adalah Israel yang terletak di Timur Tengah. Berdiri pada tahun 1948, Israel yang terletak di Timur Tengah menyadari keberadaannya sebagai negara Yahudi di tengah-tengah bangsa dan negara Arab. Negara ini pun terbentuk hanya tiga tahun setelah Perang Dunia II yang menyebabkan korban jiwa jutaan orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi yang didirikan oleh Nazi Jerman, maupun diakibatkan oleh sebab-sebab lain. 

Menurut undang-undang pertahanan di Israel, wajib militer merupakan kewajiban bagi warga negara, dengan pengecualian warga Arab. Kaum Yahudi ortodoks sebenarnya juga dikecualikan dari wajib militer; akan tetapi Israel berencana mengubah aturan itu dengan juga mewajibkan keikutsertaan Yahudi ortodoks dengan azas persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Selama ini, kaum Yahudi ortodoks tidak diharuskan mengikuti wajib militer karena mereka dianggap berkontribusi terhadap negara dengan mendedikasikan hidupnya dengan mendalami bidang keagamaan. 

Menurut Dov Tamari, pada awal-awal terbentuknya negara Israel di dekade 1950-an, 1960- an, hingga Perang Enam Hari (1967), wajib militer yang merupakan bagian dari IDF (Israel Defence Force) lebih diasosiasikan kepada mobilisasi umum untuk perang. Ketika itu, perang dianggap sebagai sesuatu yang harus ditempuh guna melindungi keamanan personal atau umum. 

Menurut Dov Tamari, hingga Perang Enam Hari, IDF dengan wajib militer mampu menunjukkan kemampuannya untuk duduk sebagai “tentara rakyat” dan menciptakan integrasi masyarakat. Akan tetapi seiring dengan perkembangan debat publik, seperti halnya perlu atau tidaknya kaum Yahudi ortodoks dalam wajib militer menunjukkan bahwa saat ini Israel perlu mempertimbangkan untuk lebih menonjolkan peran sosial IDF di tengah masyarakat. 

Yigal Allon seorang Jenderal di IDF, menuliskan dalam bukunya bahwa meskipun Israel secara geografis terjepit dan secara sumber daya mengalami tekanan yang hebat namun keberhasilannya dalam mempertahankan diri dalam konflik yang cukup panjang adalah dimensi sosial negaranya yang kokoh. Dimensi sosial yang menyatu dalam satu kesadaran nasional untuk memertahankan diri tidak mungkin lepas dari kebijakan negaranya dalam menerapkan bela negara yang sesuai dengan kebutuhannya yaitu, wajib militer. Di Eropa, beberapa negara, misalnya Swedia kembali memberlakukan wajib militer setelah melihat perkembangan sosial dan politik yang ada. 

Pada Maret 2107, Swedia kembali menghidupkan wajib militer yang sudah dihentikan pada 2010, dengan alasan melihat perkembangan politik yang terjadi di wilayah Baltik, antara lain upaya Rusia menganeksasi Krimea pada tahun 2014, konflik di Ukraina, dan latihan militer Rusia di kawasan itu.Negara lain di Eropa, yaitu Perancis juga ingin menghidupkan kembali pengabdian nasional (national service) dengan tujuan agar generasi muda Perancis lebih aktif dalam kehidupan berbangsa dan mendukung kohesi sosial. Rencanya, program pengabdian sosial ini akan mencakup pengabdian di bidang-bidang sipil seperti menjadi guru suka rela, ikut serta dalam kegiatan amal, hingga pengabdian sebagai personil militer, polisi, dan pemadam kebakaran.

B.Wacana Program Bela Negara 

Pada Bulan Oktober 2015, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa pemerintah akan menyelenggarakan program bela negara, dengan merekrut 100 (seratus) juta kader bela negara. Program ini akan dimulai pada tahun 2015, dan direncanakan akan dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun. Untuk mewujudkan hal tersebut, Kemenhan akan membentuk 4.500 kader pembina bela negara di 45 kabupaten/kota di Indonesia. Adapun tujuan dari program bela negara adalah untuk menumbuhkan 5 (lima) nilai dasar, yaitu rasa cinta tanah air, rela berkorban, sadar berbangsa dan bernegara, meyakini Pancasila sebagai ideologi negara, serta memiliki kemampuan awal bela negara fisik dan non fisik (Kompas, Jum’at, 16 Oktober 2015). 

Penyelenggaraan program bela negara ini akan dilakukan dalam durasi pendidikan 1 (satu) bulan, yang kurikulumnya terdiri dari, pertama, materi dasar, meliputi sejarah kebangsaan, empat pilar negara, dan sistem pertahanan semesta; kedua, materi inti, meliputi cinta tanah air, rela berkorban, sadar berbangsa dan bernegara, serta kemampuan bela negara baik dalam bentuk fisik maupun non fisik; dan ketiga, materi tambahan, meliputi kearifan lokal (Media Indonesia, Senin, 2 November 2015). Wacana program bela negara ini cukup mengundang dukungan maupun penolakan dari masyarakat. Bagi pihak yang mendukung, program bela negara ini diyakini mampu memperbaiki mental bangsa melalui pembangunan etos disiplin, terutama dalam memperkuat ketaatan hukum rakyat dan menyelesaikan beragam penyakit sosial. 

Disisi lain, meski Menhan menegaskan bahwa program bela negara tak sebatas mengangkat senjata dan akan disesuaikan dengan keahlian peserta, mereka yang menolak bela negara melihat program ini sebagai pendidikan militer atau militerisasi rakyat. Kekhawatiran mereka yang mengkritisi program ini dapat dimaklumi karena luasnya difinisi “ancaman”, risiko munculnya kelompok kekerasan, dan belum terformulasinya metode pelatihan (Farouk Muhammad).



Newest Older

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter